Tuesday, January 16, 2018

Inilah Jawaban Ilmiah Mengapa Presiden Indonesia Selalu dari Suku Jawa

Seperti sudah menjadi persyaratan tak tertulis, Presiden RI selalu saja datang dari etnik Jawa. Mulai dari Soekarno sampai Jokowi. Bacharu... thumbnail 1 summary
Seperti sudah menjadi persyaratan tak tertulis, Presiden RI selalu saja datang dari etnik Jawa. Mulai dari Soekarno sampai Jokowi. Bacharuddin Jusuf Habibie dari Bugis memang pernah menjadi Presiden RI. Tetapi beliau menjadi pengecualian karena menjabat di masa transisi reformasi 1998. Periodenya pun pendek, dari Mei 1998 sampai Oktober 1999.

Bagi sebagian besar politisi dari Jawa bahkan meyakininya sebagai sesuatu yang given atau sudah dari sananya. Seakan-akan telah menjadi “taqdir”. Ada pula sebagian mereka mengkait-kaitkan “taqdir” itu dengan mistis. Ini bertitik tolak dari paham kejawen “Jawaisme” yang begitu kental.

Inilah Jawaban Ilmiah Mengapa Presiden Indonesia Selalu dari Suku Jawa
Di abad milinium di tengah pesatnya perkembangan sains dan teknologi, tentu saja keyakinan terhadap sesuatu yang given tersebut bertentangan dengan kaidah-kaidah kemodernan. Dalam konteks sosial-politik nampak mengesampingkan keunggulan komparatif politik semacam integritas dan kapabelitas. Seolah-olah mereka yang berhak menjadi Presiden RI ditentukan berdasarkan kesukuan dan bukan keunggulan komparatif itu.

Cendikiawan kelahiran Jombang, Nurcholis Madjid, punya jawaban rasional mengapa Presiden RI selalu tampil dari suku Jawa. Menurut Bapak Modernisasi paham kebangsaan dan keIslaman ini, dari sejak Indonesia masih bernama Nusantara, tokoh-tokoh Jawa lebih banyak meng-handle kekuasaan dibanding suku bangsa lainnya. Faktor historis tersebut sampai sekarang terawat melalui proses sosial-kebudayaan dan sosial-politik yang panjang.

Namun ide-ide, gagasan dan pemikiran dalam banyak hal, menurut Cak Nur, lebih banyak diproduksi oleh tokoh-tokoh non Jawa, khususnya suku bangsa Melayu. Dan Melayu di Sumatera Barat tergolong sangat produktif.

Dengan karakteristiknya masing-masing, Cak Nur mengistilahkan tokoh-tokoh Melayu itu sebagai "soft ware" Indonesia. Sedangkan tokoh-tokoh Jawa sebagai "hard ware-nya". Mereka relatif lebih diterima oleh masyarakat Indonesia dalam mengoperasikan ide, gagasan dan pemikiran keIndonesiaan yang banyak diproduksi dari tokoh-tokoh Melayu itu.

Penggambaran Nurcholis Madjid sangat tepat. Penyebab suku bangsa Melayu lebih banyak berperan dalam produksi pemikiran yang kelak menghasilkan nilai-nilai dan sistem karena berangkat dari karakteristik Melayu. Cak Nur menyimbolkannya dengan istilah “budaya pesisir” sebagaimana karakter geografis masyarakat Melayu.

Pada umumnya, masyarakat Melayu menetap di kawasan bertipologi pantai. Karakter demikian cenderung menghasilkan budaya dan tradisi egaliter serta terbuka/inklusif, baik dalam lisan, tulisan maupun perilaku. Dialektika ide, gagasan dan pemikiran sulit berkembang tanpa memegang tradisi tersebut.

Itulah kenapa dalam tonggak sejarah bangsa Indonesia yang mempersatukan suku-suku bangsa di Nusantara, bahasa Melayu menjadi perekatnya. Bahasa Melayu tidak mengenal hirarki dalam kalimat maupun anak kalimat serta kaya dengan metafora, cocok untuk berdiplomasi.

Sampai kemudian tercetus konsesus kesadaran kolektif semua perwakilan suku dan golongan di Nusantara untuk bertanah air, berbangsa dan berbahasa Indonesia dalam Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.


Sedangkan dalam masyarakat Jawa, Cak Nur menyimbolkannya dengan “budaya pegunungan”. Khususnya banyak dijumpai di Jawa Tengah, tepatnya di Semarang, Yogyakarta dan Solo. Budaya pengunungan ini sangat kental dengan tradisi hirarki, baik bahasa maupun perilaku. Tak mengherankan jika dalam tradisi masyarakat Jawa memiliki strata.

Dalam tradisi lisan yang memang sarat mencerminkan perilaku, terdapat istilah halus dan kasar sejenis “kromo” dan “ngoko”. Strata ini yang kurang dimiliki dalam masyarakat Melayu yang cenderung egaliter. Padahal di level yang sangat teknis, dalam mengoperasikan kepemimpinan atau administrasi keorganisasian, kerangka dan sistemnya tersusun dan dioperasikan dari alam hirarki tersebut.

Bukan kebetulan pula Presiden Indonesia dari masa ke masa selalu memiliki ikatan darah dari lokus Solo dan Yogyakarta. Sebab dalam tradisi Jawa, filsafat dan kebudayaan suku bangsa Jawa berporos dari dua daerah tersebut. Kalian ingat singasari dan majapahit sampai sistem kerajaan di masa republik masih dari DIY.

Nampaknya, membaca peta Pilpres 2019, “aturan tak tertulis” asal suku bangsa Presiden RI bakal dari Jawa lagi, yaitu poros Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Kalaupun tambah satu poros lagi, besar kemungkinan datangnya dari poros Susilo Bambang Yudhoyono. Semua nama poros itu sangat didominasi oleh huruf “O”: wong Jowo.

Mudah mudahan tidak terjadi goro2 seperti yang ada di syair ronggo warsito joyoboyo karena korut mulai nakal bisa2 Indonesia kena imbasnya.
Inilah Jawaban Ilmiah Mengapa Presiden Indonesia Selalu dari Suku Jawa
JOGLOSEMAR = Jogja - Solo - Semarang. Joglo telah runtuh, yang ada tinggal Semar. 

Memang tipikal orang semarang itu cenderung lebih ramah, bahkan sedikit acuh atau tidak peka dengan hal-hal yang berbau kekerasan jika tidak menyentuh bagian “Perut”. Seperti filosofi Semar, dia tidak gampang marah namun bila sudah amat terlalu, kemarahannya bisa menggetarkan dunia para dewa bahkan raja-raja dewa pun tidak berani untuk menegurnya. 

Inilah hakekat kondisi negara saat ini.
Sebagai panduan perlu saya garis bawahi kata kunci yang ada di dalam
bait-bait karya leluhur kita, yaitu :

1. Di dalam ramalan R.Ng. Ronggowarsito menyiratkan bahwa Satria VI

(Satriyo Boyong Pambukaning Gapura) harus menemukan dan bersinergi
dengan seorang spiritualis sejati satria piningit (tersembunyi) agar
kepemimpinannya selamat.

2. Dalam bait 22 ramalan Joyoboyo dikatakan "Di Semarang Tembayat
itulah yang mengerti dan memahami lambang tersebut."

3. Dari ucapan Sabdo Palon dalam ramalan Sabdo Palon tersirat bahwa
dengan fenomena alam yang digambarkan (seperti yang terjadi saat
ini) menandakan bahwa Sabdo Palon beserta momongan (asuhan) nya
telah datang untuk mem-Budi Pekertikan bangsa ini (secara rinci
terdapat di dalam Serat Darmogandul). Sabdo Palon secara hakekat adalah Semar.

Dalam tulisannya Ronggowarsito salah satunya menulis, 'Wong jujur bakal ajur' yang artinya orang jujur bakal hancur. 

"'Wong jujur bakal ajur, itu dilihat dan dialami sendiri oleh Ronggorwarsito. Kenyataan sosial dan politik yang terjadi dicatat,"

Ada juga kalimat, "Zaman Edan, Nek Ora Melu Edan Ora Keduman" (Kalau tidak ikut menjadi gila, tidak akan kebagian ).

Satu lagi biar ada bahasan serupa dari daerah sunda dinamakan wangsit siliwangi.

”Ti mimiti poé ieu, Pajajaran leungit ti alam hirup. Leungit dayeuhna, leungit nagarana. Pajajaran moal ninggalkeun tapak, jaba ti ngaran pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari, bakal réa nu malungkir! Tapi engké jaga bakal aya nu nyoba-nyoba, supaya anu laleungit kapanggih deui. Nya bisa, ngan mapayna kudu maké amparan. Tapi anu marapayna loba nu arieu-aing pang pinterna. Mudu arédan heula.”

Artinya:

“Semenjak hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. Hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, selain nama untuk mereka yang berusaha menelusuri. Sebab bukti yang ada akan banyak yang menolak! tapi suatu saat akan ada yang mencoba, supaya yang hilang bisa ditemukan kembali. Bisa saja, hanya menelusurinya harus memakai dasar. Tapi yang menelusurinya banyak yang sok pintar dan sombong. Dan bahkan berlebihan kalau bicara.”


”Sakabéh turunan dia ku ngaing bakal dilanglang. Tapi, ngan di waktu anu perelu. Ngaing bakal datang deui, nulungan nu barutuh, mantuan anu sarusah, tapi ngan nu hadé laku-lampahna. Mun ngaing datang moal kadeuleu; mun ngaing nyarita moal kadéngé. Mémang ngaing bakal datang. Tapi ngan ka nu rancagé haténa, ka nu weruh di semu anu saéstu, anu ngarti kana wangi anu sajati jeung nu surti lantip pikirna, nu hadé laku lampahna. Mun ngaing datang; teu ngarupa teu nyawara, tapi méré céré ku wawangi.”

Artinya:

”Semua keturunan kalian akan aku kunjungi, tapi hanya pada waktu tertentu dan saat diperlukan. Aku akan datang lagi, menolong yang perlu, membantu yang susah, tapi hanya mereka yang bagus perangainya. Apabila aku datang takkan terlihat; apabila aku berbicara takkan terdengar. Memang aku akan datang tapi hanya untuk mereka yang baik hatinya, mereka yang mengerti dan satu tujuan, yang mengerti tentang harum sejati juga mempunyai jalan pikiran yang lurus dan bagus tingkah lakunya. Ketika aku datang, tidak berupa dan bersuara tapi memberi ciri dengan wewangian.”

”Aya nu wani ngoréhan terus terus, teu ngahiding ka panglarang; ngoréhan bari ngalawan, ngalawan sabari seuri. Nyaéta budak angon; imahna di birit leuwi, pantona batu satangtungeun, kahieuman ku handeuleum, karimbunan ku hanjuang. Ari ngangonna? Lain kebo lain embé, lain méong lain banténg, tapi kalakay jeung tutunggul. Inyana jongjon ngorehan, ngumpulkeun anu kapanggih. Sabagian disumputkeun, sabab acan wayah ngalalakonkeun. Engke mun geus wayah jeung mangsana, baris loba nu kabuka jeung raréang ménta dilalakonkeun. Tapi, mudu ngalaman loba lalakon, anggeus nyorang: undur jaman datang jaman, saban jaman mawa lalakon. Lilana saban jaman, sarua jeung waktuna nyukma, ngusumah jeung nitis, laju nitis dipinda sukma.”

Artinya:

”Ada yang berani menelusuri terus menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dialah Anak Gembala; Rumahnya di belakang sungai, pintunya setinggi batu, tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang. Apa yang dia gembalakan? bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau ataupun banteng, tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui, tapi akan menemui banyak sejarah/kejadian, selesai jaman yang satu datang lagi satu jaman yang jadi sejarah/kejadian baru, setiap jaman membuat sejarah. Setiap waktu akan berulang itu dan itu lagi.”

Nah jadi bagaimana menurut kamu...


NB: Dikutip dari berbagai sumber




2 comments