Tuesday, September 5, 2017

Sejarah Konflik Yang Terjadi di Myanmar

Belakangan ini banyak sekali pemberitaan di media massa yang menbahas tentang konflik yang terjadi di Myanmar . Konflik yang terjadi di Mya... thumbnail 1 summary
Belakangan ini banyak sekali pemberitaan di media massa yang menbahas tentang konflik yang terjadi di Myanmar. Konflik yang terjadi di Myanmar bukan hanya terjadi baru-baru ini saja, tapi sudah lama terjadi sejak zaman kerajaan dulu. Berikut ini Sejarah Konflik Yang Terjadi di Myanmar.


Sejarah Konflik Yang Terjadi di Myanmar

Myanmar, negara yang terletak di jalur persilangan budaya antara India dan Cina, kini sedang menghirup wanginya aroma Demokratisasi. Pasalnya, Partai Liga Nasional untuk Demokrasi yang dipimpin oleh kampiun demokrasi di Myanmar, Aung San Suu Kyi berhasil memenangkan pemilihan umum dengan perolehan suara mayoritas.

Kemenangan ini, kendati tak berhasil menjadikan Aung San Suu Kyi sebagai orang nomor satu di Negeri Seribu Pagoda akibat intervensi dari pihak militer yang menggunakan 'kartu truf' konstitusi, setidaknya cukup untuk mengantarkan orang dekat Aung San Suu Kyi, yang bernama Htin Kyaw sebagai Presiden Myanmar pertama yang terpilih secara Demokratis sejak Jendral Ne Win melancarkan Kudeta Militer pada tahun 1962.

Namun di tengah 'Musim Semi Myanmar' yang sedang semerbak itu, Aung San Suu Kyi sebagai progenitor terciptanya iklim keterbukaan di Myanmar, justru sedang memanen cercaan. Semua itu hanya disebabkan oleh sepotong kalimat sederhana :

“No one told me that I was to be interviewed by a muslim.”

Pernyataan ini terlontar dari mulut Aung San Suu Kyi setelah ia diwawancarai oleh Mishal Husein, jurnalis BBC yang notabene adalah seorang Muslim keturunan Pakistan. Sulit rasanya membayangkan, seorang pejuang Hak Asasi Manusia dan penerima Nobel Perdamaian, menyimpan apriori dalam benaknya akan aliran kepercayaan yang dianut oleh seseorang yang akan menggali informasi dari dirinya.

Segera saja, Emerson Yuntho dan Hamid Basyaib selaku penggiat Hak Asasi Manusia asal Indonesia melayangkan petisi agar Ketua Komite Nobel Norwegia,Thorbjorn Jagland menarik hadiah Nobel Perdamaian yang telah dianugerahkan pada Aung San Suu Kyi. Tuntutan itu lantas diamini oleh khalayak warga digital yang berbondong-bondong menandatangani 'petisi online' tersebut.

Mungkin sikap antipati Aung San Suu Kyi terhadap umat Islam, khususnya etnis minoritas Rohingya yang selama bertahun-tahun dianggap kerikil dalam sepatu oleh Junta Militer Myanmar, merupakan sebab utama kenapa Aung San Suu Kyi selalu menutup erat-erat mulutnya dan mengunci lidahnya ketika berbagai tokoh dari mulai peggiat HAM hingga pemimpin spiritual Tibet, memintanya untuk bersuara terhadap penindasan yang dialami etnis minoritas Rohingya.

Namun apa sesungguhnya salah umat Islam secara umum dan etnis Rohingya secara khususm, sampai-sampai bukan hanya rezim otoriter Myanmar saja yang menganggap mereka sebagai duri dalam daging, namun seorang pejuang kemanusiaan pun juga bersikap sinis terhadap keberadaan serta nasib buruk yang meghantui mereka?

Sekali lagi, kita perlu melihat sejarah, apa yang sesungguhnya terjadi di Myanmar. Zona bara api di bumi Myanmar sendiri, adalah Arakan, wilayah perbatasan antara Bangladesh dan Myanmar.

Bisa dikatakan bahwa wilayah Arakan memiliki posisi yang mirip seperti Cirebon di Provinsi Jawa Barat, meskipun secara historis adalah bagian dari Tanah Pasundan namun secara budaya banyak terpengaruh budaya Jawa.

Ketika masih berbentuk Karesidenan pun, wilayah Cirebon juga memiliki dua bahasa yang digunakan rakyatnya. Penutur bahasa Jawa mendominasi wilayah Kab.Indramayu dan Kab.Cirebon sedangkan penutur Bahasa Sunda mendiami wilayah Kab.Kuningan dan Kab.Majalengka.

Di Myanmar sendiri, perbedaan basis kultural itu tampak dari kondisi faktual dengan adanya dua etnis yang memiliki bahasa dan budaya yang berbeda di wilayah Arakan. Yang pertama, adalah suku Rakhine yang menganut agama Buddha dan mendiami wilayah Arakan Selatan,bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Arakan, salah satu dialek Bahasa Myanmar yang termasuk rumpun Sino-Tibetan.

Yang Kedua, adalah kelompok pendatang dari wilayah Bengal yang awalnya hanya minoritas kecil pada masa Kerajaan Burma namun bertambah banyak pada masa Penjajahan Inggris, mereka mendominasi wilayah Arakan Utara. Selain beragama Islam, mereka juga berbicara menggunakan dialek Bahasa India Bengali yang termasuk rumpun Indo-Eropa. Mereka inilah yang kelak kita kenal sebagai Rohingya.

Menurut pakar linguistik Jerman sekaligus Menteri Dalam Negeri Kerajaan Prussia, Wilhelm von Humboldt : “pandangan hidup dan budaya masyarakat ditentukan oleh bahasa masyarakat itu sendiri”. Dalam kasus wilayah Arakan, tentu ada disparitas yang sangat besar dalam cara berfikir dan nilai-nilai yang dianut oleh suku Rakhine dan etnis Bengali, apabila dibandingkan dengan suku-suku di Nusantara yang berbicara dalam rumpun bahasa Austronesia. Hal itu disebabkan kedua etnis tersebut berbicara dalam bahasa yang berasal dari rumpun yang sama sekali berlainan walau mereka tinggal di wilayah yang berdekatan.

Selama Myanmar menjadi satu dengan wilayah koloni Inggris di India, Inggris memang berhasil menciptakan situasi damai dengan menghentikan peperangan dan penaklukan diantara kerajaan-kerajaan kecil di wilayah Burma, seperti juga Belanda yang melakukan serupa di Indonesia.

Namun Inggris memantik sumbu prahara baru dengan memobilisasi ribuan Tenaga Kerja India untuk datang dan bekerja di Burma, banyak diantaranya adalah Muslim Bengal. Para Gastarbeiter (pekerja tamu) itu bersaing dengan penduduk lokal dalam hal mencari nafkah sehingga menimbulkan konflik sosial.

Penduduk asli Burma yang dipimpin oleh mantan Tentara Kerajaan serta Kepala Desa mencoba memilih mengangkat melawan penjajah Inggris dan pekerja asal India dengan cara bergerilya di hutan-hutan, tetapi banyak dari mereka yang ditangkap dan dihukum dengan kejam oleh tentara Inggris.

Akhirnya penduduk asli Burma banyak yang memilih untuk meninggalkan desa, sehingga pemerintah Inggris melakukan re-populasi terhadap desa-desa tersebut dengan mengizinkan para pekerja Muslim Bengal untuk menetap disana.

Tindakan Inggris ini, mirip seperti yang mereka lakukan di Palestina dengan memfasilitasi kedatangan Imigran Yahudi dari Eropa Timur, sehingga menimbulkan konflik saling serang yang berawal dari masalah perebutan tempat bermukim dan lapangan pekerjaan dengan penduduk Arab yang telah berabad-abad menetap di Palestina.

Kristalisasi kegeraman rakyat Burma akibat diskriminasi yang dilakukan Inggris membuat timbulnya fenomena yang disebut oleh Hans Kohn dalam karya monumentalnya yang berjudul The Idea of Nationalism: A Study in Its Origins and Background sebagai ethnic nationalism, yaitu sejenis nasionalisme di mana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya asal atau etnis sebuah masyarakat. Konsep ini pertama kali muncul setelah Filsuf Jerman, Johann Gottfried von Herder lebih dahulu memperkenalkan konsep Volk (Rakyat).

Pakar Ethnografer Inggris, Anthony D Smith kemudian berpendapat bahwa ethnic nationalism sesungguhnya lebih banyak ditemukan di negara-negara Eropa Timur dan Asia, karena memiliki perbedaan Nature dengan Nasionalisme Eropa Barat yang lebih mengacu atau terikat pada batas-batas teritorial.

Ethnic Nationalism itu semakin meruncing menjadi kekuatan riil pada pada tahun 1930, dengan berdirinya Organisasi Pergerakan Nasional Myanmar yang bernama Dobama Asiayone Movement atau yang lebih dikenal dengan sebutan Thakhin. Organisasi ini sangat mengedepankan keutamaan bahasa, budaya dan kecintaan pada tanah air bangsa Myanmar.

Bagi tokoh-tokoh Thakhin, Bangsa Myanmar adalah Lu-Myo (Ras) yang lebih unggul dan hal tersebut menjadi semacam pembenaran untuk mendisposisikan suku bangsa lain di Myanmar yang dianggap lebih rendah derajatnya, seperti Karen, Shan dan khususnya Muslim Bengal.

Bisa dikatakan, bahwa Thakhin memiliki corak pemikiran yang mirip dengan Partai Nasional-Sosialis (Nazi) di Jerman. Kemiripan itu, mungkin dikarenakan baik bangsa Myanmar ataupun bangsa Jerman sama-sama dikenal sebagai Verspätete Nation (Bangsa yang terlambat terbentuk), dimana bangsa tersebut terfragmentasi menjadi sejumlah kerajaan serta kepangeranan kecil yang bersaing untuk memperebutkan hegemoni selama berabad-abad.

Organisasi Thakhin jugalah yang kelak akan menjadi cikal bakal dari Burma National Army (BNA) yang dipimpin oleh Jendral Aung San, ayah dari Aung San Suu Kyi yang sekarang sedang kita hujani dengan luapan kekecewaan.

Menjelang akhir Perang Dunia II, BNA yang dipimpin oleh Jendral Aung San dan sejumlah organisasi pergerakan lainnya membentuk AFPFL (Anti-Fascist People's Freedom League). Organisasi baru ini bertujuan untuk mengusir Jepang sekaligus mendongkel Pemerintahan Boneka yang dipimpin oleh Ba Maw.

AFPFL menuding Ba Maw sebagai pengkhianat sekaligus kolaborator Jepang. Namun. di saat AFPFL berjuang mengusir Jepang demi mencapai kemerdekaan, masyarakat muslim Bengal di wilayah Arakan malah membentuk Liga Muslim Arakan Utara dan berusaha menjalin relasi dengan Pakistan Movement (Tehrik-e-Pakistan) yang ketika itu dipimpin Mohammad Ali Jinnah dengan tujuan untuk mendirikan Negara Islam Pakistan pasca hengkangnya Inggris dari India.

Liga Muslim Arakan Utara memiliki obsesi agar wilayah Arakan Utara yang dihuni oleh mayoritas Muslim Bengal dapat bergabung dengan Pakistan Timur (sekarang Bangladesh). Akan tetapi Muhammad Ali Jinnah tidak memberikan komitmen formal terhadap aspirasi Muslim Bengal di wilayah Arakan tersebut, karena beliau tidak ingin Negara Pakistan yang akan didirikannya langsung terlibat dalam konflik dua front, di satu sisi dengan India dan di sisi lain dengan negara tetangganya, yang dalam hal ini adalah Myanmar.

Tindakan muslim Bengal di wilayah Arakan jelas merupakan penikaman dari belakang terhadap perjuangan kemerdekaan Myanmar dan membuktikan bahwa sejak awal Muslim Bengal di wilayah Arakan tidak memiliki perasaan senasib sepenanggungan dengan mayoritas rakyat dan pejuang kemerdekaan Myanmar, karena sejak awal mereka memang mengidentifikasikan dirinya sebagai Bangsa Bengal dan bukannya Bangsa Myanmar.

Sebagai konsekuensinya, ketika Jendral Aung San mengadakan Konferensi Panglong pada bulan Februari 1947 untuk mencapai persetujuan mengenai pendirian Negara Myanmar Bersatu dengan etnis-etnis minoritas seperti Shan, Kachin dan Chin; Muslim Bengal tidak menjadi bagian dari kesepakatan konferensi tersebut.

Tiba-tiba, terjadi perubahan angin dalam situasi politik Myanmar, Jendral Aung San yang belum sempat menyaksikan negerinya merdeka dan bersatu, harus tewas akibat diberondong peluru oleh pasukan paramiliter yang di organisir oleh U Saw, politikus Myanmar yang tidak sejalan dengan pemikiran Aung San. Akibatnya, Aung San Suu Kyi pun menjadi seorang Yatim di usianya yang masih belia.

Namun di saat air mata Aung San Suu Kyi belum kering, orang-orang Muslim Bengal di Arakan yang dipimpin oleh Jafar Hussain memanfaatkan kematian Jendral Aung San yang tragis dengan mencetuskan Deklarasi Dobboro Chaung pada tanggal 20 Agustus 1947 sebagai langkah awal berdirinya organisasi separatis yang disebut Mujahid. Kelompok jihad ini memiliki tujuan baru yaitu mendirikan Negara Islam merdeka di wilayah Arakan Utara.

Di saat yang berdekatan, Burma akhirnya memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1948, Perdana Menteri U Nu yang juga berasal dari AFPFL menyatakan agama Buddha Theravada sebagai agama resmi negara untuk memperkuat identitas negara yang masih muda itu.

U Nu juga berusaha mendepak Burma Muslim Congress (BMC) yang dipimpin seorang Muslim India bernama U Razak, dari keanggotaan AFPFL. Muslim Bengal di Arakan melakukan manouvre selanjutnya dengan mulai menggunakan istilah Rohingya sebagai identitas politik mereka dan menyatakan diri sebagai penduduk asli Arakan dan bukannya keturunan imigran asal Bengal.

Setelah memantapkan diri dengan identitas baru, para Mujahid Rohingya mulai mengobarkan pemberontakan melawan Pemerintah Myanmar. Hanya dalam waktu kurang dari setahun, para Mujahid Rohingya menyapu habis seluruh wilayah Arakan Utara.

Pasukan Pemerintah hanya mampu mempertahankan pelabuhan Akyab. Selama peperangan ini, para Mujahid Rohingya juga menambah kapasistas tempurnya dengan mengundang para sukarelawan baru dari wilayah Pakistan Timur. Pemerintah Myanmar tidak memiliki opsi lain dalam melakukan Counter-Insurgency kecuali mengirimkan lebih banyak pasukan untuk menambah daya gedor guna merontokkan pertahanan Mujahid Rohingya.

Divisi Infanteri Kedua dan Resimen Kachin Kelima dari pasukan Burma bergerak ke wilayah Arakan Utara guna menggempur basis-basis pemberontak sehingga para Mujahid melarikan diri ke hutan, pertempuran pun berubah dari perang kota menjadi perang Gerilya.

Pada tahun 1954, Pemerintah Burma melancarkan Operation Monsoon untuk memecah kekuatan para pemberontak sekaligus mempersempit ruang gerak mereka. Akibatnya, para Mujahid Rohingya harus mengubah taktik dari ofensif menjadi defensif dan hanya berfokus menyelundupkan senjata dari Pakistan Timur.

Pemberontakan Mujahid Rohingya yang berlarut-larut ini, tidak membuat senang elit-elit militer yang dipimpin oleh Jendral Ne Win, seorang Panglima Angkatan Darat keturunan Hakka (sub-etnis Cina yang menjadi asal etnisnya Ahok, Lee Kuan Yew dan Thaksin Sinawatra). Ia menganggap pemerintahan Perdana Menteri U Nu teralu bersikap lunak dan sudah keluar dari ajaran dan garis-garis haluan Thakhin.

Pada tahun 1962, Jenderal Ne Win mengambil inisiatif dengan melakukan kudeta dan mengambil alih komando pemerintahan. Ia langsung melakukan sejumlah operasi militer untuk meredam aksi separatis Rohingya.

Salah satu operasi militer yang ia lancarkan pada tahun 1978 disebut Operation Dragon King, mengubah wilayah Arakan menjadi padang penjagalan dimana 200.000 orang Rohingya mengungsi ke Bangladesh akibat kekerasan dan pembunuhan besar-besaran yang dilakukan secara sistematis.

Pemerintah Bangladesh, yang ketika itu baru melepaskan diri dari Pakistan, menyuarakan protes atas masuknya gelombang pengungsi Rohingya ini, karena akan membebani perekonomian mereka. Setelah PBB turun tangan pada bulan Juli 1978, pemerintah Burma terpaksa menyetujui untuk menerima para imigran Rohingya yang ingin kembali ke Arakan.

Tidak berdaya akibat tekanan internasional, pemerintah Myanmar balas menyiksa etnis Rohingya dengan menerbitkan undang-undang kewarganegaraan baru pada tahun 1982, yang isinya menyatakan bahwa Rohingya bukan warga negara Burma melainkan pendatang dari Bangladesh.

Pengalaman masyarakat Myanmar dalam hubungannya dengan etnis Rohingya yang dianggap sebagai Alien yang dibonceng oleh Penjajah Inggris ke negeri mereka, sesungguhnya dapat dengan mudah dimengerti oleh Bangsa Indonesia.

Bangsa Indonesia pun selama 350 tahun berjibaku melawan penjajah Belanda dan seringkali, timbul konflik komunal antara penduduk Pribumi dengan etnis Tionghoa yang pada masa penjajahan Belanda berada satu level diatas masyarakat Pribumi dalam stratifikasi buatan Pemerintah Kolonial Belanda, serta cukup banyak mendapatkan konsesi serta privielege dalam bisnis maupun perniagaan.

Maka dari itu, kita bisa melihat kenapa masih banyak penduduk Jakarta yang menolak eksistensi Ahok dengan segala cara dan berbagai alasan, terlepas dari track record dan kinerjanya. Begitu juga dengan Aung San Suu Kyi, kendati ia seorang pejuang kemanusiaan, namun sebelum ia memperoleh identitas itu, ia hanyalah putri dari Jendral Aung San yang seorang anggota Thakhin. Itulah mengapa ia terkesan menghindari dari persoalan Rohingya dan timbul apriori dalam dirinya ketika diwawancarai oleh seorang muslim keturunan Pakistan.

Bagi mereka yang menjunjung tinggi HAM, nasionalisme dan batas linguistik maupun teritorial adalah sesuatu yang nihil, karena nature HAM memang tak terikat dengan semua itu. Namun dalam diri Aung San Suu Kyi tidak hanya terdapat dimensi humanisme namun juga terdapat dimensi nasionalisme. Hal inilah yang menyebabkan sulit baginya dan juga bagi orang lain di Myanmar untuk menerima etnis Rohingya dengan segala perbuatan mereka di masa lalu.

Namun, kendati kita bisa memaklumi tindakan dan tutur kata Aung San Suu Kyi karena hal diatas namun hendaknya Aung Sann Suu Kyi dan segenap rakyat serta pemerintah Myanmar membuka mata lebar-lebar bahwa saat ini secara formal kita telah memasuki suatu tatanan “kosmopolitan”—meminjam term Filsuf Jerman, Immanuel Kant—seiring dengan proses globalisasi yang makin intensif dari berbagai penjuru.

Pada masa ini, Demokrasi dan Hak Azazi Manusia menjadi norma dan prasyarat yang tak bisa ditawar-tawar dalam pergaulan antar negara di tataran regional maupun internasional, meski betapa tak sempurna dan menyebalkannya kedua hal diatas bagi sebagian orang sekalipun.

Maka dari itu, seyogyanya orang sekaliber Aung San Suu Kyi setidaknya bisa merangkai dan meramu kata-kata yang normatif, diplomatis dan proporsional demi menjalankan peran sosialnya sebagai Penerima Nobel Perdamaian sekaligus menjaga keseimbangan agar tak teralu menyinggung rakyat dan Junta Militer Myanmar yang awas dan peka terhadap isu-isu sensitif seperti 'Rohingya'.

Namun kembali lagi, Aung San Suu Kyi bukan manusia sempurna. Ia, seperti halnya kita yang mungkin masih belum bisa berdamai dengan masa lalu dalam diri kita sendiri. Namun itulah tantangan para pejuang HAM, berdamai dengan masa lalu sebelum membantu mereka yang kesulitan.

Karena jika tak bisa menolong diri sendiri yang digelayuti oleh perasaan gelisah dan amarah akibat cobaan dari pihak eksternal, fisik serta wajah yang kurang rupawan dan anasir-anasir negatif lainnya yang memenjara jiwa kita, bagaimana bisa menolong orang lain yang kesusahan?

Jadi masih pantaskah Aung Sann Suu Kyi menerima Nobel Perdamaian yang pernah didapatnya?? .. Kalau menurut saya gelar yang didapatnya tak lebih dari sekedar lelucon belaka....!!!

(sumber)

1 comment

  1. Saya mendapatkan pencerahan baru mengenai keadaan disana Myanmar. Kebetulan saya juga memuat sejarah singkat tentang Rohingya dari sisi yang lainnya. Kolaborasi pengetahuan, terlepas dari itu semua semoga saudara muslim kita disana bisa kita bantu segera dengan jiwa raga.

    ReplyDelete